Senin, 14 Februari 2011

Penjelasan tentang Pewarisan Akhlak

Sebagaimana yang Anda lihat, para ahli ilmu jiwa dan para ulama akhlak mengakui bahwa masalah genetik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada perbedaan akhlak, namun hal ini masih perlu dibahas, dengan cara apa pewarisan di atas memberikan pengaruhnya? Apakah ini terjadi dengan perantaraan gen-gen? Dalam arti, gen-gen yang dengan perantaraan ayah dan ibu pindah ke anak membawa semua atau sebagian karakteristik akhlak yang terdapat pada diri mereka berdua atau kakek-kakek mereka?


Sampai sejauh ini yang saya ketahui masalah ini belum dibahas dalam buku-buku genetika, dan saya belum melihat ada seseorang yang mengetahui gen-gen pembawa karakteristik akhlak, namun ini tidak dapat meniadakan kemungkinan yang seperti ini. Meski demikian di dalam buku-buku psikologi, masalah pewarisan akhlak dapat dijelaskan melalui dua jalan:


Jalan pertama: pewarisan insting.

Seorang ilmuwan menulis:

"Setiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah insting, seperti insting takut, insting seksual, insting keibuan, insting taat, insting egois, rasa ingin tahu, ingin dikenal dan insting-insting lain yang sampai kepada mereka secara genetik. Masing-masing dari insting-insting ini ada yang lemah ada yang kuat, dan manakala sebuah insting bertemu dengan faktor-faktor lingkungan maka akan tercipta kondisi kejiwaan tertentu. Oleh karena itu, kondisi kejiwaan terbentuk dari dua faktor:

Pertama, lingkungan yang terjadi sehari-hari dan kecenderungan-kecenderungan individu. Kedua, genetik yang dinamakan dengan insting."[77]

Oleh karena itu, ilmuwan ini meyakini bahwa pewarisan terjadi pada insting. Dalam arti, semua insting yang ada pada diri seorang anak, yang menjadi sumber dari akhlak dan sifat kejiwaannya ia warisi dari ayah ibunya dan kakek-kakeknya. Semua anak manusia-dalam kondisi normal-sama dalam dasar pewarisan insting-insting ini, namun menurut keyakinan ilmuwan ini insting-insting di atas, dalam kuat dan lemahnya, tidak sama pada setiap individu, dan inilah yang menjadi sumber semua perbedaan di antara individu-individu manusia. Lantas, muncul lagi pertanyaan yang sama, apa yang menjadi faktor perbedaan kuat dan lemahnya insting-insting ini? Apakah faktor genetik atau faktor-faktor lain?


Jalan kedua : perbedaan-perbedaan jasmani.

Seorang ilmuwan menulis:

"Perilaku buruk seorang anak di sekolah bisa bersumber dari ketidaknormalan kelenjar-kelenjar yang ada dalam tubuhnya atau dari lingkungan keluarga yang tidak mengajarkan perilaku-perilaku baik. Ketidakmampuan seorang anak dalam menangkap pelajaran bisa disebabkan karena kekurangan beberapa jenis vitamin dan nutrisi yang diperlukan atau karena tidak adanya motivasi yang cukup untuk belajar."[78]

Ilmuwan lain menulis:

"Kerusakan sistem kerja kelenjar tiroid akan menyebabkan rangsangan pada saraf dan kejiwaan atau kelesuan dan kebodohan."[79]

Almarhum Khajah Nashiruddin Thusi menulis:

"Sebagian anak mempunyai kesiapan menerima etika dengan mudah dan sebagian lainnya menerimanya dengan susah."

Almarhum Mullah Muhammad Mahdi Naraqi mengatakan:

"Watak manusia mempunyai pengaruh besar terhadap sifatnya. Sebagian watak dari sejak awal memiliki kesiapan menerima akhlak-akhlak tertentu sementara sebagian yang lain cenderung kepada kebalikannya. Kami yakin ada pribadi-pribadi yang memiliki watak mudah marah, mudah takut, mudah sedih atau mudah tertawa meski karena sebab-sebab kecil sekalipun, namun sebagian lagi sebaliknya. Namun terkadang disebabkan keseimbangan pada berbagai kekuatan yang ada dalam diri, kekuatan akal dan keutamaan-keutamaan akhlak telah sampai pada tahap kesempurnaan dan telah mampu mengalahkan kekuatan marah dan syahwat, sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan para imam. Hal yang sebaliknya terjadi pada sebagian orang, di mana mereka telah keluar dari batas-batas keseimbangan, yaitu kekuatan akal mereka melemah, akhlak mereka buruk, dan kekuatan akal mereka dikalahkan oleh kekuatan syahwat mereka."[80]

Dari semua paparan di atas kita dapat menyaksikan para ilmuwan mengakui adanya faktor keturunan pada sifat dan kondisi kejiwaan seseorang, namun itu terjadi melalui karakteristik-karakteristik yang terdapat pada bangunan tubuh seseorang. Dari sisi bahwa faktor keturunan merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan dan penyusunan tubuh seorang anak para ilmuwan tidak ragu sedikit pun.


Alasan yang Diajukan

Klaim para ilmuwan di atas didasarkan kepada dua alasan:

Alasan pertama: Bentuk tubuh, karakteristik saraf, karakteristik otak, karakteristik kelenjar, dan anggota-anggota utama badan mempunyai pengaruh terhadap bentuk akhlak dan kejiwaan seseorang.

Alasan kedua: Faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh pada bentuk dan susunan tubuh anak.

Dari alasan pertama dapat disimpulkan bahwa meskipun akhlak termasuk sifat dan karakteristik jiwa, dan jiwa merupakan sebuah maujud yang terbebas dari materi, namun keterkaitan jiwa dengan badan tidak dapat diingkari. Para peneliti filsafat Islam meyakini bahwa jiwa bukan sebuah hakikat abstrak yang tercipta lepas dari tubuh lalu bersatu dengan tubuh, melainkan jiwa adalah rupa spesifik tubuh yang dengan gerak substansial dan gerak kesempurnaan bertahap sampai ke tahapan abstrak dan melampaui batas materi (tajarud). Rupa spesifik (shurat nau`iyyah) terkait dengan materi dan bahkan menyatu baik sebelum maupun sesudah terbebas dari materi.

Pada tahapan ini jiwa manusia mempunyai dua dimensi atau dua peringkat wujud: satu sisi dia adalah sebuah hakikat yang lebih tinggi dan terlepas dari materi dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh materi, sementara dari sisi lain dia bersatu dengan badan dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya.

Di antara dua peringkat wujud ini terjadi hubungan yang sempurna. Peringkat wujud yang lebih tinggi berpengaruh kepada peringkat yang lebih rendah dan memanfaatkannya untuk pekerjaan-pekerjaannya. Manakala jiwa manusia memahami hal-hal yang bersifat universal maka premis-premisnya diperoleh melalui saraf dan otak dan dengan menggunakan indera.

Saling pengaruh mempengaruhi di antara jiwa dan badan sebagaimana yang dibuktikan dalam ilmu jiwa adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Sebagai contoh, manakala seseorang sedang sangat emosi dan sedih, akan timbul reaksi-reaksi tertentu pada badan: nafsu makan menjadi berkurang dan begitu juga daya pencernaan tubuh menjadi melemah. Sebaliknya ketika seseorang sedang gembira-yang merupakan salah satu suasana kejiwaan-nafsu makannya menjadi bertambah dan alat pencernaannya dapat mencerna makanan dengan lebih cepat dan lebih baik. Atau, ketika seseorang sedang berpikir, yang merupakan pekerjaan jiwa, terjadi reaksi tertentu pada tubuh, yaitu lebih banyak membutuhkan makanan jenis tertentu.

Dari sisi lain, kesehatan berbagai organ tubuh mendatangkan ketenangan jiwa dan kemampuan lebih menghadapi berbagai ketidaknyamanan dan keteguhan dalam melakukan berbagai pekerjaan. Kesehatan badan dan saraf memberikan pengaruh dalam berpikir sehingga seseorang dapat berpikir dengan lebih baik dan lebih teliti. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan yang sangat terkenal "akal yang sehat terdapat dalam jiwa yang sehat". Oleh karena itu, individu-individu yang tidak memiliki pancaindera dan saraf yang sehat, maka dalam sifat-sifat kejiwaan dan bahkan dalam cara berpikir pun mereka kacau.

Dengan demikian, bentuk saraf dan otak seseorang sangat berpengaruh terhadap bentuk sifat kejiwaan dan akhlaknya dan bahkan berpengaruh kepada cara berpikirnya. Ini merupakan alasan yang pertama.

Sementara dari alasan kedua dapat disimpulkan bahwa sebagaimana seorang anak dalam kebanyakan sifatnya, karakteristik badannya dan karakteristik anggota-anggota utama tubuhnya seperti saraf dan otak, para-paru, lever, jantung, lambung, ginjal dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh mewarisi dari kedua orangtuanya, begitu juga bentuk watak, kesehatan dan penyakit, kekuatan dan kelemahan fisik, dan bentuk organ-organ penting tubuh mewarisi dari ibu bapak atau salah seorang kakek yang bersangkutan. Para ilmuwan telah melakukan penelitian yang mendalam dalam masalah ini dan telah menyebutkan beberapa penyakit turunan.


Kesimpulan

Dengan diterimanya kedua alasan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bisa saja sebagian sifat ayah dan ibu berpindah kepada anak melalui faktor turunan. Artinya, bahwa sebagian sifat dan karakteristik ayah dan ibu merupakan akibat dari bentuk bangunan fisik mereka, dan bisa saja bentuk bangunan fisik mereka ini berpindah kepada anak mereka, sehingga dengan begitu sifat dan karakteristik mereka pun berpindah kepada anak mereka.


Akhlak (Perangai) Dapat Dirubah

Dari berbagai penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan akhlak (perangai) yang dapat disaksikan pada anak-anak dapat terjadi disebabkan perbedaan watak tubuh mereka, yang perbedaan ini pun bersumber dari perbedaan watak tubuh ayah ibu mereka. Sebagian anak ada yang cepat marah sebagian lagi penyabar, sebagian tergesa-gesa dan sebagian lagi tenang, mungkin saja sifat ini sebagai akibat dari perbedaan bentuk bangunan fisik mereka.

Namun, ini bukan berarti bahwa sifat dan perangai tersebut tidak dapat dirubah, karena watak tubuh tertentu tidak lebih hanya berfungsi memberi lahan untuk tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat tersebut. Dalam arti, bahwa sebagian anak mempunyai watak dan saraf tertentu yang dengan mudah tersulut emosinya sehingga ia kehilangan kontrol atas dirinya. Dari sisi seberapa cepat tersulut emosinya, orang-orang yang seperti ini tidak berada pada tingkatan yang sama melainkan mempunyai tingkatan-tingkatan.

Demikian juga kemungkinan seberapa besar dapat dirubahnya akhlak dan perangai mereka pun berbeda-beda, tergantung di tingkatan mana mereka berada, namun secara umum dapat dikatakan dapat dirubah. Kalau pun pada beberapa kasus merubah secara keseluruhan tidak dapat dilakukan namun setidaknya dapat dikurangi, dan seorang pendidik tidak boleh putus asa.

Para pendidik harus mengenal secara baik anak-anak yang hendak dididik, dan benar-benar memperhatikan berbagai potensi watak dan perangai masing-masing mereka, kemudian bersungguh-sungguh dalam mendidik dan memperbaiki akhlak dan perangai mereka. Oleh karena dari sisi potensi watak dan perangai masing-masing anak berbeda-beda maka jalan yang harus ditempuh untuk memperbaikinya pun berbeda-beda.

Seorang pendidik tidak boleh mempunyai anggapan semua anak sama dalam kemampuan menerima perbaikan. Potensi watak sebagian anak berkaitan dengan beberapa perangai sedemikian kuatnya sehingga untuk merubah dan meluruskannya diperlukan pengetahuan yang cukup, kesabaran dan kesungguhan. Bahkan terkadang sangat diperlukan berkonsultasi kepada seorang psikiater atau pun dokter ahli saraf.


Perbedaan dalam Kemampuan

Singkatnya, dari sisi penciptaan manusia terbagi kepada tiga kelompok: baik, buruk dan sedang. Kelompok pertama, mereka telah diciptakan sedemikian rupa sehingga wataknya cenderung kepada kebaikan, sehingga jika tidak ada faktor dari luar yang memalingkannya maka tentu ia condong kepada kebaikan.

Kelompok kedua, mereka telah diciptakan sedemikian rupa sehingga wataknya suka kepada keburukan, sehingga jika tidak ada faktor dari luar yang memberikan pengaruh kepadanya maka tentu ia condong kepada keburukan. Adapun kelompok ketiga berada di tengah-tengah, mereka mempunyai kesiapan yang sama untuk menerima baik dan buruk.

Mendidik dan merubah akhlak dan perangai kelompok pertama dan kedua sedikit susah dan pada beberapa keadaan sangat susah, namun masih tetap bisa dilakukan. Jika merubah dan memperbaiki akhlak itu tidak mungkin dilakukan tentunya para nabi tidak akan memerintahkannya, dan para ulama akhlak serta para pendidik tentu tidak akan berusaha memperbaikinya.

Seorang ilmuwan menulis:

"Masing-masing dari kita terlahir ke dunia ini ada yang baik, sedang dan buruk, namun sebagaimana kecerdasan, akhlak dan perangai pun dapat tumbuh dan berkembang melalui pengajaran, disiplin dan kemauan, dan ia dapat dididik."[81]

Ibnu Miskawaih menulis:

"Akhlak adalah kondisi kejiwaan saat seorang manusia tergerak melakukan sesuatu dengan tanpa berpikir terlebih dahulu, dan ini terbagi kepada dua bagian: sebagian berupa tabiat dan bersandar kepada bentuk bangunan watak, seperti seseorang yang dengan mudah tersulut amarahnya hanya karena perkara kecil yang tidak mengenakannya, atau seseorang yang dengan mudah tertawa terbahak-bahak hanya karena perkara yang tidak begitu lucu, atau seseorang yang begitu sedih hanya karena peristiwa kecil. Sebagian lagi bersumber dari kebiasaan. Bisa saja pada mulanya dilakukan dengan pikiran dan perhitungan namun karena dilakukan secara berulang-ulang maka secara perlahan-lahan ia berubah menjadi sifat diri yang tetap, yang dilakukan dengan tanpa berpikir dulu."[82]

Aristoteles mengatakan:

"Manusia yang berakhlak buruk terkadang dengan pengajaran menjadi baik, namun ini bukan sesuatu yang mutlak, karena pengulangan nasihat dan pengajaran dan digunakannya cara-cara yang baik pada individu yang berbeda-beda memberikan pengaruh yang berbeda-beda. Sebagian orang dengan cepat dapat menerima pengajaran yang baik dan bergerak ke arah keutamaan, namun sebagian lainnya dengan lambat menerimanya dan dengan lambat pula bergerak ke arah kebaikan."[83]

Khajah Nashiruddin Thusi menulis:

"Jiwa itu ada dua: yang pertama tabiat, yang kedua adat. Adapun yang disebut dengan tabiat adalah watak dasar seseorang menuntut dan cenderung kepada satu keadaan dari banyak keadaan. Sebagai contoh, seseorang yang hanya karena sebab kecil cepat menjadi marah, atau seseorang yang hanya karena mendengar teriakan kecil atau mendapat berita yang sedikit tidak menyenangkan diliputi rasa takut dan prasangka buruk, atau seseorang yang hanya karena gerakan kecil yang lucu akan tertawa terbahak-bahak, atau seseorang yang hanya karena sebab kecil sedemikian bersedih. Adapun yang disebut dengan adat, pada awalnya seseorang melakukannya dengan berpikir dan menimbang terlebih dahulu dan memulainya dengan berat, namun karena dilakukan secara berulang-ulang lantas perbuatan tersebut menjadi tidak asing lagi baginya, dan sesudah tidak asing lagi maka dengan mudah perbuatan tersebut keluar dari dirinya sehingga menjadi perangainya."[84]

Sayid Muhammad Ghiyatsi menulis:

"Setiap manusia berakal dapat memperbaiki dirinya dan menyucikan akhlaknya. Jadi, yang disebut dengan akhlak atau perangai adalah kebiasaan yang dengan mudah dan tanpa berpikir terlebih dahulu akan keluar dari diri seseorang. Sebagian kalangan menyangka akhlak atau perangai seperti penciptaan yang tidak dapat dirubah. Mereka mengatakan, akhlak mengikuti watak diri, sehingga seseorang yang berwatak panas adalah pemberani dan kebalikannya adalah penakut, demikian juga dengan akhlak-akhlak lainnya. Namun, pendapat ini lemah, adapun pendapat yang benar ialah akhlak dapat dirubah dan dapat bertambah dan berkurang, maka dengan begitu keseimbangan dan penyimpangan akhlak terjadi karena pengaruh berulang-ulangnya suatu perbuatan, perkataan, gerak, diam dan khayalan. Karena jika tidak demikian maka tentu para nabi, para wali, para orang bijak tidak akan bersungguh-sungguh menyeru manusia ke jalan Tuhan dan tidak mengajak mereka kepada akhlak yang mulia, padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.'"[85]

Almarhum Naraqi mengatakan:

"Para ulama dahulu berbeda pendapat mengenai bisa atau tidak bisanya menghilangkan suatu akhlak atau perangai. Adapun pendapat ketiga mengatakan, sebagian akhlak itu berupa tabiat dan tidak dapat dihilangkan dan sebagiannya lagi bukan berupa tabiat dan timbul karena faktor-faktor dari luar dan dapat dihilangkan. Namun, para ulama kontemporer lebih memilih pendapat yang pertama, mereka mengatakan, tidak ada satu pun akhlak, baik yang sesuai dengan tabiat maupun yang tidak sesuai yang tidak dapat dirubah, jika ia sejalan dengan watak maka dengan sulit dapat merubahnya namun jika tidak sejalan maka dengan mudah dapat merubahnya. Dengan demikian, perbedaan manusia dalam akhlak dan perangai adalah akibat pilihan mereka dan faktor-faktor dari luar. Adapun yang menjadi dalil pendapat pertama ialah, setiap akhlak dapat dirubah dan setiap yang dapat dirubah tidak akan menjadi tabiat. Kesimpulannya, tidak ada satu pun akhlak yang akan menjadi tabiat."[86]


Pandangan Islam

Islam juga memandang tabiat dan penciptaan khusus manusia berpengaruh kepada kemunculan berbagai macam akhlak, dan memandang akhlak sebagai sebuah karunia Ilahi yang diletakkan pada fitrah manusia, yang tentunya manusia condong kepadanya.

Imam Ja`far Shadiq as berkata:

"Sesungguhnya akhlak adalah pemberian Ilahi yang Allah berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagian dari akhlak itu bersifat fitri dan tabiat dan sebagian lagi muncul karena niat." Perawi bertanya, "Mana yang lebih utama?" Imam Ja`far as menjawab, "Seseorang yang akhlaknya telah diletakkan pada tabiatnya ia harus melakukannya dan tidak dapat merubahnya, sedangkan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan niat, ia harus berusaha dan sabar untuk melakukannya, dengan demikian yang kedua lebih utama."[87]

Rasulullah saw juga bersabda:

"Jika engkau mendengar ada gunung yang hilang dari tempatnya maka percayailah, namun jika engkau mendengar ada seorang laki-laki yang telah melepaskan diri dari tabiatnya maka jangan engkau percaya, karena mungkin saja sebenarnya ia tengah kembali kepada tabiatnya."[88]

Mungkin, makna ini juga yang dimaksud dengan kata thinah (watak, pembawaan) yang terdapat dalam hadis-hadis.[89]

Dari hadis-hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian akhlak telah diletakkan pada tabiat dan penciptaan manusia, sehingga upaya merubahnya sangat sulit dan bahkan menurut kebiasaan tidak dapat dilakukan.

Namun, Islam memandang upaya mendidik dan mengajar manusia dan merubah serta memperbaiki sifat-sifatnya dan juga menyucikan jiwanya adalah sesuatu yang mungkin, oleh karena Rasulullah saw menempatkan upaya penyucian jiwa sebagai program utamanya.

Allah Swt berfirman di dalam al-Quran:

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran:164).

Rasulullah saw juga bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."[90]

Dengan demikian, upaya menyucikan dan memperbaiki jiwa adalah sesuatu yang mungkin. Allah Swt juga berfirman, Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. asy-Syams:7-10).

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw yang memerintahkan manusia kepada akhlak yang mulia dan memperingatkan mereka dari akhlak-akhlak yang tercela. Dari semua ini dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya penyucian jiwa dan memperbaiki akhlak adalah sesuatu yang mungkin dilakukan, karena jika tidak maka semua usaha dan anjuran ini menjadi sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar